Oleh: Hasanul Rizqa
Pembombardiran yang dilakukan pasukan penjajahan Israel (IDF) secara brutal di Jalur Gaza, Palestina, masih terus berlangsung menjelang bulan ketiga sejak 7 Oktober 2023. Rudal-rudal yang diluncurkan militer zionis tersebut secara sengaja menarget dan meledakkan permukiman penduduk sipil Gaza. Akibatnya, puluhan ribu orang kehilangan nyawa. Banyak di antara para korban merupakan anak-anak, perempuan, dan lanjut usia.
Di hadapan dunia internasional, Israel terus saja mencari-cari pembenaran bahwa serbuan yang dilakukannya adalah upaya “membela diri” (self-defence). Mereka yang tutup mata pada sejarah panjang penindasan tentunya akan mudah menerima dalih demikian. Argumentasinya hanya berkisar pada kenyataan bahwa sayap militer Hamas-lah yang melancarkan serangan mendadak ke wilayah yang diduduki Israel tanggal 7 Oktober 2023.
Adapun mereka yang tidak mau mengidap rabun sejarah akan memandang tindakan Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas) itu serta para pejuang Palestina lainnya sebagai perlawanan yang nyata terhadap penjajahan. Situasi terjajah sudah dialami rakyat Bumi al-Quds, setidaknya sejak 14 Mei 1948 ketika Israel mendeklarasikan terbentuknya negara Yahudi di atas tanah Palestina. Sebelumnya, Palestina sebagai bekas wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah merupakan daerah protektorat di bawah kendali Britania Raya.
Bukan hanya karena didukung Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara-negara Barat lainnya; kolonialisme Israel pun memanfaatkan pelbagai mitos (myths) demi mempertahankan eksistensinya. Selain “self-defense”, ada banyak mitos lagi yang menguntungkan citra Israel dan, pada saat yang sama, merugikan atau mengambinghitamkan Palestina.
Mitos yang dimaksud di sini bukan dalam artian ‘cerita tentang dewa-dewa dan pahlawan pada masa lalu’, sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ia mengikuti pengertian myth dalam bahasa Inggris, yang berarti ‘a widely held but false belief or idea’, ‘kepercayaan atau gagasan yang diyakini secara luas tetapi pada faktanya salah.’ Laman Decolonize Palestine merangkum puluhan mitos tentang Israel. Berikut ini penjabaran beberapa di antaranya.
Israel menginginkan perdamaian?
Mitos pertama adalah bahwa Israel selalu mengajak negara-negara Arab tetangganya untuk berdamai, tetapi mereka menolak upaya-upaya rekonsiliasi dan tetap bertekad untuk menjadi musuh. Mitos inilah yang mendasari pembenaran tentang serangan-serangan yang dilakukan IDF sebagai “self-defense.” Bahkan, perluasan wilayah Israel secara masif dan ofensif di tanah milik rakyat Palestina kemudian dikatakan sebagai tindakan membela-diri.
Bila dikaji secara mendalam, logika “Israel menginginkan perdamaian” justru berdiri di atas justifikasi bahwa Palestina tidak pernah ada. Para pendukung mitos ini, sadar maupun tidak, membenarkan bahwa Bumi al-Quds dalam keadaan kosong belaka ketika orang-orang Yahudi (zionis) datang dari Eropa dan Amerika ke sana sebagai sebuah bangsa yang tanpa tanah air, terutama sejak Perang Dunia I. Ditambah pula dengan keyakinan religius kaum Yahudi tentang Baitul Makdis atau Yerusalem sebagai “tanah yang dijanjikan” Tuhan kepada mereka, maka Palestina adalah sebuah negeri yang tak berbangsa untuk bangsa yang tanpa negara, “a land without a people for a people without a land.”
Menachem Ussishkin (mati 1941), seorang zionis yang pernah mengepalai Dana Nasional Yahudi (JNF) menegaskan hal itu. Seperti dikutip dari buku Expulsion of the Palestinians (2012), ia berkata, “Orang-orang Arab (Palestina) tidak menginginkan kami (Yahudi zionis) karena kami ingin menjadi penguasa. Saya akan berjuang untuk ini. Saya akan memastikan bahwa kami akan menjadi pemilik tunggal atas tanah ini … karena negeri ini milik kami, bukan milik mereka.”
Pada 1948-1949, ketika awal-awal pergolakan pecah usai Palestina tidak lagi berstatus mandat Inggris dan Israel diproklamasikan, ada banyak peluang untuk menghentikan permusuhan. Namun, semua peluang itu dimentahkan oleh zionis. Pada Oktober 1948, Mesir siap menawarkan banyak konsesi sebagai imbalan atas perdamaian. Kairo juga bersedia memukimkan kembali para pengungsi Palestina di kawasan yang ditetapkan PBB sebagai “wilayah Arab.” Namun, tawaran itu dijawab dengan serangan. Empat hari setelah politisi Israel Eliyahu Sasson menemui ketua senat Mesir, Heikal, perdana menteri Israel David Ben-Gurion melancarkan operasi militer baru.
Pada medio 1949, Husni al-Zaim berhasil merebut kekuasaan di Damaskus, Suriah. Pemimpin berdarah Kurdi ini kemudian merencanakan negosiasi dengan Ben-Gurion untuk perdamaian tuntas di Palestina. Ia bahkan mengusulkan sebanyak 300 ribu pengungsi Palestina bermukim di Suriah, alih-alih wilayah yang diduduki Israel.
Mengetahui rencana al-Zaim, pihak AS menyambut gembira. Washington mungkin tidak menyangka, al-Zaim akan mengambil langkah yang sejalan dengan Khalid al-Azm, perdana menteri Suriah yang terjungkal dari kekuasaan. Saat masih berkuasa, al-Azm pada permulaan tahun 1949 pernah menghubungi duta besar AS di Damaskus untuk menjajaki kemungkinan damai antara Israel dan negara-negara Arab. Hal itu dengan syarat antara lain bahwa rakyat Palestina diberi hak menentukan sikap (self-determination), yakni apakah ingin mendirikan negara sendiri atau bergabung dengan negara Arab lain.
Terhadap proposal al-Zaim dan bahkan antusiasme AS, Israel bersikap masa bodoh. Ben-Gurion ingin memaksakan adanya kesepakatan hanya melalui kekuatan militer. Sejarawan Yahudi, Avi Shlaim, dalam buku Israel and Palestine: Reappraisals, Revisions, Refutations (2009) berkomentar mengenai momentum ini, “Selama masa jabatannya yang singkat, (al-Zaim) menyuguhkan kepada Israel setiap kesempatan untuk mengubur senjata (menyudahi serangan militer –Red) dan meletakkan dasar bagi hidup berdampingan secara damai (antara Arab dan Yahudi zionis) dalam jangka panjang. Jika peluang historis ini terbuang percuma … maka kesalahan jangan dicari pada al-Zaim, melainkan pihak Israel.”
Rangkaian peristiwa pada 1948-1949 itu hanyalah segelintir dari sekian banyak contoh keengganan Israel untuk mengakui eksistensi Palestina dan hidup damai bertetangga dengannya.
Inti soal adalah politikus?
Israel menerapkan pemerintahan demokrasi parlementer. Sejak 1948, hampir 200 partai politik tercatat pernah mengikuti pemilihan umum setempat. Dari 110 parpol yang pernah mendapatkan kursi di parlemen Israel (Knesset), ada beberapa yang memiliki pengaruh cukup besar. Misalnya, partai konservatif sayap kanan yang bernama Likud.
Likud bervisi mewujudkan Israel sebagai Negara Yahudi dalam artian yang sesungguhnya. Karena itu, parpol ini selalu menaruh kecurigaan pada negeri-negeri tetangga (Arab) yang—dalam pandangannya—menghendaki kehancuran Israel. Likud juga mengedepankan Doktrin Begin, yakni prinsip bahwa Israel berhak untuk melancarkan serangan preventif terhadap negara-negara manapun yang dianggapnya sebagai ancaman.
Khususnya saat berkuasa, Likud adalah motor utama yang menjadikan Israel (lebih) apartheid. Salah satu buktinya ialah golnya rancangan undang-undang (RUU) Negara-Bangsa Orang Yahudi menjadi undang-undang pada Juli 2018. UU ini, selain menahbiskan Israel sebagai “tanah air historis orang Yahudi”, juga menyatakan bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Jadi, apakah sikap agresif Israel terhadap Palestina disebabkan semata-mata oleh para politikusnya, terutama yang masuk dalam barisan Likud? Jawabannya adalah tidak.
Memang, partai-partai politik seperti Likud menjadi tempat bersarangnya kaum politikus yang menjadi penghalang bagi terwujudnya solusi perdamaian antara Israel dan Palestina. Perdana menteri Israel saat ini Benjamin Netanyahu, misalnya, merupakan ketua umum Likud.
Netanyahu, Likud, dan parpol-parpol “non-liberal” lainnya di Israel hanyalah gejala. Adapun akar masalah sesungguhnya adalah masyarakat Israel. Sebab, mereka seluruhnya membenarkan dan diuntungkan pula oleh kolonialisme pemukim (settler colonialism) Israel di atas tanah Palestina.
Seperti semua masyarakat pemukim, orang-orang Israel bergantung pada perampasan hak-hak penduduk asli untuk bisa hidup. Akibatnya, dehumanisasi ekstrem yang dialami warga Palestina menjadi diperlukan untuk membenarkan penjajahan. Lagipula, jika Israel memandang warga Palestina sebagai manusia yang sama, mereka tidak akan bisa dengan mudah mengesampingkan sistem penindasan dan dominasi yang menguntungkan mereka.
Bahkan, orang Yahudi Israel pun tidak menganggap warga Israel yang berkebangsaan Arab setara dengan mereka. Survey yang dilakukan Pew Research Center pada 2016 mengungkapkan, sebanyak 79 persen responden Yahudi Israel percaya bahwa mereka harus mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan “warga Arab” Israel. Kemudian, sebanyak 61 persen percaya bahwa Israel adalah “negeri yang dijanjikan Tuhan untuk orang-orang Yahudi.” Lebih gawat lagi, hampir separuh dari responden Yahudi Israel yakin bahwa “orang-orang Arab”, baik yang berstatus warga Israel maupun warga Jalur Gaza/Tepi Barat (Palestina), harus seluruhnya dibasmi. Survey Pew ini dilakukan dalam rentang waktu antara Oktober 2014 dan Mei 2015 dan mewawancarai 5.601 orang dewasa Israel.
Golongan liberal—apalagi yang antikolonialisme—seharusnya malu untuk terus melanjutkan dukungan terhadap Israel. Bagaimanapun, kelompok-kelompok liberal di Israel acap kali menyalahkan pendudukan usai Perang Enam Hari 1967 sebagai penyebab realitas politik Israel hari ini. Mereka juga mengecam naiknya parpol-parpol berhaluan ultranasionalis, semisal Likud dengan Netanyahu sebagai nakhodanya.
Padahal, mengeklaim bahwa Israel hanya sedang “kehilangan arah” akibat dipimpin Likud/Netanyahu adalah cara koping (coping mechanism) belaka untuk terus berpura-pura bahwa keadaan ini bersifat sementara. Cara koping tersebut dipilih untuk meyakin-yakinkan diri bahwa Israel “pada dasarnya baik” dan karena itu layak untuk terus didukung. Pada titik inilah, kita sebagai orang Indonesia patut bangga karena memiliki komitmen yang tegas dan tercantum pula dalam Konstitusi: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Anti-Israel berarti anti-Yahudi?
Mitos berikutnya adalah bahwa mengecam Israel berarti mengumandangkan pandangan dan sikap anti-Yahudi (antisemitism). Agaknya, inilah mitos yang paling mudah dipatahkan. Sebab, berbagai riset dan kesaksian menyatakan bahwa Yahudi, Kristen, dan Muslim dapat hidup berdampingan dalam damai di Bumi al-Quds, yakni (jauh) sebelum eksistensi Israel.
Dalam buku Jewish Life under Islam: Jerusalem in the Sixteenth Century (1984), Amnon Cohen menuturkan bahwa orang-orang Yahudi dilindungi hak-haknya dalam beribadah, menjalankan budaya, dan bermata pencaharian di Yerusalem, yang ketika abad ke-16 M dikuasai daulah Muslim, Dinasti Mamluk. Kondisi demikian juga berlaku kala Palestina menjadi wilayah Dinasti Turki Utsmaniyah.
“Tentu saja, ada juga penguasa lokal yang menindas orang-orang Yahudi. Namun demikian, orang-orang Yahudi dapat menyampaikan protes mereka ke Istanbul (ibu kota Utsmaniyah). Mereka juga dapat menyampaikan keluhan kepada kadi di Yerusalem,” tulis Cohen.
Kadi Yerusalem diangkat oleh sultan, bukan gubernur. Alhasil, ulama yang mengisi jabatan tersebut dapat menjalankan kewenangannya, yakni menegakkan syariat Islam, tanpa harus merasa diintimidasi penguasa lokal. Agama ini menggariskan bahwa orang-orang non-Muslim, termasuk kaum Yahudi, yang tinggal di wilayah pemerintahan Muslim berstatus kafir zhimmi. Dan, penguasa Muslim wajib menjaga kedudukan hukum mereka serta hak-hak mereka dalam bidang ekonomi dan sosial.
Malahan, penegasan bahwa anti-Israel bukanlah anti-Yahudi datang dari kalangan Yahudi sendiri. Sebut saja, Yisroel Dovid Weiss (lahir 1956) seorang tokoh Yahudi berkewarganegaraan AS. Rabi tersebut adalah pemimpin spiritual Neturei Karta, sebuah gerakan yang diisi kaum Yahudi Chareidi ultra-ortodoks dengan cakupan global.
Dalam berbagai kesempatan, Dovid Weiss mengkritik klaim bahwa Israel adalah “negara Yahudi.” Menurut dia, zionisme adalah sebuah ideologi yang mencoba untuk mewakili umat Yahudi dan berbicara atas nama Tuhan, padahal yang dilakukan zionisme sendiri hanyalah mengkhianati Tuhan.
Menyusul ketegangan antara Hamas dan Israel sejak awal Oktober 2023, Weiss dan rekan-rekannya di Neturei Karta aktif menyuarakan pembelaan bagi warga Palestina di Gaza. Ia juga turut dalam aksi-aksi demonstrasi pro-Palestina, semisal yang digelar di New York City pada 17 November 2023. Pada awal bulan ini, sang rabi mewakili Neturei Karta dalam Konvensi Global Solidaritas Palestina di Afrika Selatan.
Dalam sebuah wawancara dengan Aljazeera pada April 2023, Avram Noam Chomsky “menyesal” bahwa dirinya tidak dari awal mengkritik Israel. “Awal” yang dimaksudkan intelektual Yahudi tersebut ialah sebelum pecah Perang Enam Hari 1967. Guru besar pada Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu mengaku pernah tinggal di Israel selama beberapa bulan. Dalam periode itu, ia menyaksikan langsung represi yang dilakukan pemerintah zionis terhadap orang Arab dan (bahkan) orang Yahudi yang non-Ashkenazi, yakni klan Yahudi yang menjadi asal umumnya mayoritas warga Israel dan para pendiri Gerakan Zionisme Internasional (WZO).
“Saya baru terlibat (aktivisme menentang Israel) setelah perang tahun 1967 dan Israel memulai kebijakan pemukiman dan pembangunan ilegal di wilayah pendudukan (Palestina), yang kemudian meluas dan mengarah pada situasi saat ini. Kritik-kritik yang saya suarakan terlalu ringan dan sangat terlambat,” kata Chomsky.
Adalah fakta bahwa tidak sedikit tokoh-tokoh Yahudi yang menyerang Israel atau zionisme. Maka, sangat janggal apabila menyamakan sikap anti-Israel dengan anti-Yahudi.
Palestina telah menjual tanahnya?
Mitos lain yang kerap digembar-gemborkan para pendukung Israel adalah bahwa orang-orang Palestina telah menjual tanah mereka kepada zionis, baik sebelum, ketika, maupun sesudah tahun 1948. Pertama-tama, kalaupun dalih tersebut benar, hal itu mustahil secara moral menjadi pembenaran terhadap tindakan IDF melakukan genosida.
Seperti dirangkum dari laman Decolonize Palestine, Britania Raya adalah pencatat yang cermat. Sebagai penjajah Palestina sebelum Israel eksis, Inggris memiliki catatan tentang pembelian lahan yang dilakukan berbagai organisasi zionis di Palestina beberapa tahun menjelang 1948. Salah satu catatan termuat dalam buku A Survey of Palestine: Volume I (1991), yang merupakan cetak-ulang laporan faksimile tentang Pemerintahan Mandatori Inggris di Palestina, Desember 1945 hingga Januari 1946.
Pada tahun 1947, orang-orang Yahudi di Palestina memiliki kurang dari tujuh persen tanah Palestina. Keadaan berbalik drastis luar biasa usai Israel dideklarasikan pada 14 Mei 1948 serta usai perang berkecamuk antara zionis dan aliansi Arab pada tahun yang sama. Menjelang akhir tahun 1948, sebanyak 80 persen orang Palestina kehilangan rumah, lahan pertanian, dan tempat mereka mencari nafkah. Lebih dari 950 ribu orang menjadi pengungsi.
Mengutip data yang disajikan A Survey of Palestine: Volume I (1991), Palestina sewaktu menjadi daerah protektorat Inggris memiliki luas wilayah 26.625.600 dunams. (Satu hektare sama dengan 10 dunams.) Menjelang tahun 1948, organisasi-organisasi zionis diperkirakan seluas-luasnya hanya memiliki lahan 2 juta dunams di Palestina. Dengan perkataan lain, zionis hanya memiliki secara absah—antara lain melalui transaksi jual-beli—sebanyak lima hingga tujuh persen dari total luas Palestina pada momen sebelum Israel dideklarasikan.
Bagaimana mungkin menyatakan bahwa Israel membeli (mayoritas) tanah Palestina ketika orang-orang Palestina sendiri terusir dari tanah mereka sejak Hari Nakbah 14 Mei 1948? Mereka yang menyatakan demikian telah menutup nalar dan hatinya terhadap settler colonialism yang nyata-nyata dilakukan Israel.
Datang lebih dahulu?
“Jika bangsa Yahudi sudah ada di Palestina sebelum bangsa Arab, maka tanah tersebut adalah milik bangsa Yahudi. Oleh karena itu, pembentukan Israel dapat dibenarkan.” Demikian bunyi mitos yang juga sering diembuskan para pendukung zionisme.
Biasanya, ujaran demikian akan dijawab, “Anda salah. Orang Arab datang lebih dahulu daripada Yahudi.” Bagaimanapun, respons demikian pada faktanya tidak akan efektif dan tidak perlu juga untuk menjadi dasar mengecam Israel/zionisme.
Genosida, pembersihan etnis, pembantaian, dan kolonialisme yang diperlukan untuk mendirikan Israel tidak akan pernah bisa dibenarkan, terlepas dari siapa yang pertama kali berada di tanah Palestina—wilayah yang sudah dihuni manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Hak asasi manusia berlaku bagi semua orang secara universal, tanpa memandang apakah mereka telah tinggal di suatu wilayah selama hanya satu tahun atau 10 ribu tahun.
Bila sungguh-sungguh menginginkan perdamaian, argumentasi “kamilah yang pertama kali berada di Palestina” tidak akan menjadi faktor yang menentukan, apatah lagi melegitimasi pendirian Israel. Memang, ada sejarah kaum Yahudi di Palestina. Namun, sejarah itu adalah bagian pula dari masa lalu dan warisan Palestina sebagai sebuah negeri yang diisi masyarakat majemuk.
Dalam hal mengupayakan perdamaian dan kemajemukan, contohlah kepemimpinan Umar bin Khattab. Amirul mukminin kedua dalam periode Khulafaur rasyidin itu menghendaki bahwa bangsa Arab maupun non-Arab serta umat Islam maupun non-Islam dapat hidup berdampingan dalam situasi kondusif di Bumi al-Quds.
Seperti digambarkan Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City Three Faiths, pasukan Muslim berhasil mengepung Baitul Makdis pada Juli 637. Namun, mereka belum bisa secara resmi menguasai kota tersebut karena kunci kota masih dipegang pemuka Kristen setempat, Sophronius. Dan, tokoh Nasrani ini bersikeras, hanya akan memberikan kunci itu kepada pemimpin tertinggi umat Islam, bukan sekadar jenderal di lapangan.
Mendengar kabar itu, Umar bin Khattab lalu berangkat dari Madinah bersama dengan rombongannya ke Baitul Makdis. Sophronius demi mengetahui hal itu, langsung menyiapkan gelar upacara penyambutan yang gegap gempita. Semua itu dilakukannya demi menghormati sang khalifah.
Begitu melihat rombongan dari Madinah, Sophronius dan kaum Kristen setempat terheran- heran. Pasalnya, sang khalifah tampil dengan busana yang biasa saja: baju dengan bahan kain kasar, selayaknya rakyat jelata. Menurut Karen, agaknya para pemuka Nasrani Baitul Makdis merasa tersentuh; betapa sang pemimpin Muslim lebih menghayati ajaran Yesus (Nabi Isa) tentang empati kepada kaum miskin ketimbang mereka sendiri.
Di Baitul Makdis, Umar juga peduli pada nasib kaum Yahudi, orang-orang yang selama ini ditindas para penguasa kekaisaran Bizantium. Selama dominasi Romawi di kota suci ini, kaum Yahudi ditindas dan bahkan dilarang beribadah. Umat Kristen setempat menjadikan sisa bangunan Kuil Solomon yang dihancurkan Persia sebagai tempat sampah. Ini tentunya amat menyakiti perasaan orang-orang Yahudi.
Begitu melihat penampakan reruntuhan bangunan itu, Umar terkejut. Ia lalu menginstruksikan pasukan Muslim untuk membersihkan situs tersebut dari sampah. Kemudian, sosok berjulukan al-Faruq ini memanggil Kaab bin Ahbar, seorang sahabat Nabi yang sebelumnya beragama Yahudi. Atas informasi dari Kaab, lokasi batu tempat Rasulullah SAW berangkat untuk miraj pun diketahui. Umar lalu membangun di atas batu itu kubah besar dan indah, yang kini dinamakan Qubbat as-Sakhrah atau Dome of the Rock. Sang khalifah juga menyuruh Kaab agar mendatangkan kepadanya 10 keluarga Yahudi dan meminta mereka agar menetap di Baitul Makdis.
Inilah visi Umar, menjadikan Baitul Makdis terbuka bagi kaum Muslimin, Nasrani, maupun Yahudi. Visi yang amat bertolak belakang dengan tendensi Israel: mencaplok Yerusalem dan seluruh Palestina serta mendirikan negara satu bangsa-satu agama Yahudi.